Perjanjian Kerjasama Inti-Plasma (Bukanlah Merupakan Jenis Perjanjian Jual Beli dengan Hak Membeli Kembali)

07/09/2015 22:29

    Perjanjian inti-plasma merupakan pola kemitraan dalam hubungan bisnis dimana salah satu pihak berkedudukan sebagai inti dan pihak lain berkedudukan sebagai plasma. Keterkaitannya dengan kasus diatas, pola usaha kemitraan inti plasma dapat diartikan sebagai sistem usaha kerjasama antara peternak dengan sebuah perusahaan penyedia layanan finance yang menyediakan Sapronak (DOC, Pakan, Vaksin dan Medikasi) untuk dibudidayakan hingga menjadi ayam broiler yang siap dipanen dengan kesepakatan atau perjanjian kebijakan yang dibuat oleh pihak finance yang disetujui oleh peternak. Perjanjian atau kesepakatan kebijakan yang sering diterapkan dalam kemitraan inti-plasma adalah sebagai berikut :

  1. Perusahaan inti bertanggung jawab untuk menyediakan sarana produksi (DOC, Pakan, Vaksin dan Medikasi) yang selanjutnya diserahkan kepada peternak plasma.
  2. Peternak plasma bertanggung jawab untuk menyediakan sarana dan prasarana kandang beserta perlengkapannya termasuk biaya operasional maupun tenaga kerja untuk melakukan budidaya pemeliharaan atas sapronak yang disediakan oleh perusahaan inti.
  3. Peternak plasma tidak diperkenankan menggunakan tambahan sapronak di luar yang sudah tertuang di perjanjian yang sudah di sepakati.
  4. Perusahaan inti berkewajiban untuk membantu memasarkan kembali seluruh hasil panen dari sapronak yang dibudidayakan oleh peternak plasma tersebut.
  5. Status sapronak yang didapat oleh peternak plasma adalah hutang dari perusahaan inti dengan diterapkannya harga beli kontrak. Sedangkan status ayam yang dipanen adalah piutang peternak plasma kepada perusahaan inti dengan diterapkannya harga jual bergaransi.

    Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali sebagaimana diatur dalam pasal 1519 KUHPerdata merupakan kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual diterbitkan dari suatu janji, dimana si penjual diberikan hak untuk mengambil kembali barang yang dijualnya, dengan mengembalikan kembali harga pembelian asal, dengan disertai penggantian yang disebutkan dalam pasal 1532.

    Mendasar pada rumusan pasal 1519 KUHPerdata tersebut, saya berpendapat bahwa perjanjian yang lahir dari pola kemitraan inti-plasma tersebut bukan merupakan konsep perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali. Sebagaimana dijelaskan dalam KUHPerdata khususnya pasal 1457 bahwa jual beli merupakan suatu perjanjian dimana satu pihak menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain berkewajiban untuk membayar. Hal tersebut secara implisit menerangkan bahwa jual beli terjadi dengan mendasar pada asas konsensualisme atau perjanjian. Lebih rinci tertuang dalam rumusan pasal berikutnya yang menyatakan bahwa jual beli dianggap telah terjadi seketika para pihak sepakat tentang kebendaan dan harga, meskipun penyerahan barang dan pembayaran belum dilakukan.

    Setidaknya terdapat tiga alasan mendasar mengapa pola kemitraan inti-plasma tersebut tidak dapat digolongkan kedalam perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali;

    Pertama, tidak adanya transaksi jual beli yang mendahului. Dalam kemitraan inti-plasma, klausul perjanjian yang utama adalah mengenai kesepakatan keterikatan dalam hal panen (broiler) dimana perusahaan plasma berkewajiban untuk menyediakan sarana dan prasarana kandang beserta perlengkapannya termasuk biaya operasional maupun tenaga kerja untuk melakukan budidaya pemeliharaan atas sapronak yang disediakan oleh perusahaan inti. Legal consequent nya adalah perusahaan plasma tidak diperbolehkan untuk menggunakan atau menambah sapronak diluar daripada yang telah diperjanjikan bersama dengan perusahaan inti. Selain itu, dengan tidak adanya transaksi yang mendahului dapat diartikan bahwa perjanjian tersebut dalam hal keperdataan merupakan pengembangan konsep bisnis belaka yang tidak ada kaitannya dengan perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali.

    Kedua, perbedaan arti good faith dalam konteks kemitraan inti-plasma dengan perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali (pasal 1519 KUHPerdata) merupakan kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual diterbitkan dari suatu janji, dimana si penjual diberikan hak untuk mengambil kembali barang yang dijualnya, dengan mengembalikan kembali harga pembelian asal, dengan disertai penggantian yang disebutkan dalam pasal 1532. Berdasarkan rumusan pasal tersebut dapat kita simpulkan bahwa good faith dalam perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali lebih ditekankan pada pihak penjual daripada pihak pembeli. Hal ini secara sosiologis-psikologis disebabkan oleh keadaan mendesak yang mengharuskan penjual menjual barang miliknya. Atau dengan kata lain penjual sebenarnya tidak berkeinginan untuk menjual barang miliknya tanpa adanya urgensitas tertentu. Konsekuensi hukumnya yaitu, pihak pembeli dapat menjual atau mengalihkan kepemilikan barang yang dibelinya kepada pihak ketiga apabila dalam batas waktu yang telah ditentukan ternyata pihak penjual tidak segera melakukan transaksi pembelian kembali terhadap barang tersebut. Hal ini berbeda dengan konsep kemitraan inti plasma. Itikad baik atau good faith lebih ditekankan kepada perusahaan plasma yang bersedia untuk mengikatkan diri dalam perjanjian bisnis bersama dengan perusahaan inti. Itikad baik yang dimaksud yakni, perusahaan plasma tidak diperkenankan untuk menerima sapronak di luar dari yang diperjanjikan.  Selain itu ketika panen tiba, broiler diproritaskan untuk dijual kepada perusahaan inti dengan ketentuan sesuai harga pasar dikurangi harga bibit ayam, pakan, dan obat-obatan.

    Ketiga, jual beli dengan hak membeli kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 1519 BW dalam hukum positif di Indonesia tidak berlaku atau diperbolehkan. Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Februari 1983, Nomor 3804 K/Sip/1981 tentang Jual Beli dengan Hak Membeli Kembali dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 20 Maret 1989, Nomor 381 PK/Pdt/1986 tentang Jual Beli dengan Hak Membeli Kembali, merupakan landasan yuridis pencabutan pemberlakuan pasal 1519 KUHPerdata tersebut. Hal ini disinyalir mengandung unsur riba. Unsur riba disini dapat diartikan bahwa, pembeli menggunakan perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali, sebagai sarana untuk ’’memanfaatkan’’ penjual, dengan cara meningkatkan harga beli barang. Selain itu perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali adalah perjanjian hutang-piutang yang terselubung (semu). Artinya, bahwa perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali sebenarnya adalah perjanjian hutang piutang, yakni pemberian pinjaman dengan jaminan.

   

 

© 2014 Faculty Of LAW GAMADA

Make a website for freeWebnode