Perdebatan Terhadap Korelasi Antara Agama, HAM, dan Konstitusi dalam Bingkai NKRI

24/08/2015 22:20

    Agama terkadang menjadi suatu hal yang menarik untuk diperdebatkan dalam konteks yuridis kewarganegaraan di Indonesia. Tidak sedikit orang memposisikan agama dalam keterkaitannya dengan HAM sebagai hak. Namun banyak juga yang menganggap agama adalah sebuah entitas dari identitas diri yang bersifat wajib dan mutlak dimiliki. Perdebatan ini muncul tidak hanya dalam kajian sosio-teologis semata, melainkan juga merambah jauh kedalam substansi konstitusi. UUD Negara Republik Indonesia yang notabennya telah mengalami perubahan amandemen sebanyak empat kali nyatanya tidak dapat mengakomodir penjelasan mengenai relevansi antara kedudukan agama dan HAM secara jelas. Hak beragama merupakan salah satu hak asasi yang diatur dalam konstitusi UUD NRI 1945. Pasal 28E (1) menerangkan bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.

    Menarik untuk diperdebatkan adalah mengenai hak Negara untuk masuk jauh ke ranah pembatasan jumlah agama. Ketentuan dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan merupakan bukti sahih adanya penghilangan hak warga negara untuk memeluk agama diluar yang telah ditentukan oleh undang-undang. Mengingat pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh seorang sahabat kepada saya, Mengapa Yahudi tidak diakui oleh pemerintah, semakin menguatkan rasa penasaran terhadap tolak ukur suatu agama dapat dimasukan dalam undang-undang sebagai salah satu agama yang diakui oleh pemerintah. Yahudi notabennya sama dengan Kristen/Katholik maupun Islam yang sama-sama menjunjung tinggi monoteisme yang lahir sebagai agama. Ketidakjelasan kriteria yang dijadikan acuan oleh pemerintah untuk mengatakan sah atau tidaknya suatu entitas agama merupakan wujud ketidakadilan dalam Negara hukum. Memanglah benar apa yang diajarkan oleh J.J Rousseau mengenai doktrin kontrak sosial. Doktrin tersebut menerangkan bahwa telah terjadi kesepakatan rakyat untuk memberikan sebagian haknya untuk diatur oleh pemerintah. Tetapi yang perlu diperhatikan bahwa agama merupakan kebutuhan rohani setiap insan di dunia. Pembatasan mengenai agama dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Terlebih terhadap tindakan negara yang secara tidak langsung mendiskreditkan/mendiskriminasikan keberadaan suatu agama di wilayah hukum atau yurisdiksinya.

    Pembatasan yang dilakukan oleh negara terhadap eksistensi suatu agama di Indonesia bagi pihak yang lain sering diartikan sebagai konsekuensi logis dari Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945 yang menutup kemungkinan seorang warga negara untuk tidak memeluk satupun agama atau melarang keberadaan paham atheisme. Pasal 29 UUD NRI ayatnya yang pertama menerangkan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Maksudnya NKRI adalah negara kesatuan yang mendasarkan pada nilai-nilai ketuhanan bersifat universal yang menjunjung tinggi kesucian, pengampunan dan cinta kasih kepada sesama ciptaan Tuhan. Lebih jauh negara memiliki kewajiban untuk menjamin hak kebebasan beragama setiap warga negaranya dapat dialokasikan. Pengalokasian hak tersebutlah yang memang terkadang mengundang sejumlah perdebatan. Namun haruslah bijak diartikan sebagai semata-mata upaya negara melalui pemerintah untuk menjamin kemerdekaan tiap-tiap warga negara nya untuk memeluk agama dan beribadat sesuai agama dan kepercayaannya.

    Hal lain yang menarik untuk dibahas adalah mengenai kedudukan agama dan kepercayaan dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD NRI 1945. Tidak jarang orang mengartikan dua entitas tersebut secara terpisah dan tidak ada keterkaitannya antara satu dengan lainnya. Agama sering diartikan sebagai kepercayaan sebagaimana mestinya yang telah diatur keberadaannya oleh negara. Sedangkan kepercayaan diartikan sebagai segala bentuk keyakinan terhadap sesuatu diluar entitas agama yang telah ditetapkan oleh negara. Pandangan seperti itu secara yuridis-logis adalah pandangan yang salah. Maksud dari pada perumus pasal tersebut adalah bahwa agama-kepercayaan diibaratkan sebagai hubungan antara agama dan iman yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Negara tidak menginginkan adanya pencampuran antara kaidah agama yang suci dengan berbagai bentuk kepercayaan-kepercayaan yang terkadang menyesatkan. Terdapat sisi menarik pada kalimat “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” dalam Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945. Sisi menarik tersebut adalah tidak disandingkannya agama dengan kepercayaan dalam konteks penjaminan negara kepada tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya. Memeluk agama disini dan tidak disandingkannya dengan kata kepercayaan merupakan bukti bahwa negara tidak menginginkan adanya penyelewengan doktrin agama sebagaimana mestinya yang diatur dalam masing-masing kitab suci. Sedangkan penyandingan kata agama dan kepercayaan dalam konteks penjaminan negara terhadap hak para warga negaranya untuk beribadat haruslah dipandang sebagai satu kesatuan entitas. Karena yang dimaksud kepercayaan disini adalah iman yang notabennya melekat menjadi satu dalam bingkai agama dan tidak terpisahkan.

    Mungkin hal inilah yang mengakibatkan banyaknya konflik-konflik didaerah yang mengatas-namakan agama. Charles Kimball dalam bukunya "Kala Agama Jadi Bencana " menerangkan bahwa bagaimanapun pandangan pribadi seseorang tentang hakikat dan nilai agama, ia tetap merupaka realitas yang berpengaruh dan selalu hadir. Maka ia beranggapan bahwa orang beriman harus mencoba belajar lebih tentang risiko dan janji yang terkandung dalam fenomena kemanusiaan global yang disebut agama. Sengketa GKI Yasmin Bogor beberapa tahun lalu dan Pembakaran Masjid di Tolikara, secara sentimentil tidak dapat dilepaskan dari pemahaman agama yang disalah-gunakan oleh oknum-oknum tertentu. Mengapa demikian, terfokus pada kasus pembakaran masjid di Tolikara, satu hal yang menjadi sudut pandang kita dalam melihat kasus ini adalah mengenai urgensitas pelarangan umat muslim untuk beribadah atau merayakan idul fitri di sekitar Tolikara hanya karena sedang akan berlangsung suatu seminar keagamaan yang notabennya tidaklah sebesar dan sepenting "Hari Natal" maupun "Hari Paskah". Bagi saya orang-orang tersebut tidak memahami arti sesungguhnya kasih. Tuhan mengajarkan tentang "Kasih Mula-Mula". Kasih yang tidak memandang suku, warna kulit, harta, maupun agama. Bahkan tertulis didalam Wahyu 2:4 "Namun demikian Aku mencela engkau, karena engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula." Ayat tersebut merupakan refleksi bagi diri kita bahkan Tuhan Allah sendiri membenci orang-orang yang melupakan ajaran kasih mula-mula, meskipun banyak diantara mereka yang selama hidupnya menyembah dan memuliakan nama Tuhan. Oleh karena itu perlunya suatu pemahaman mendasar tentang "Toleransi" !!!!

Viva Justicia
   

© 2014 Faculty Of LAW GAMADA

Make a free websiteWebnode