Perdebatan Terhadap Korelasi Antara Agama, HAM, dan Konstitusi Dalam Bingkai NKRI (Mengikut Tuhan Atau Negara)

26/01/2016 03:38

     Agama terkadang menjadi suatu hal yang menarik untuk diperdebatkan dalam konteks yuridis kenegaraan di Indonesia. Tidak sedikit orang memposisikan agama dalam keterkaitannya dengan HAM sebagai hak. Namun banyak juga yang menganggap agama adalah sebuah entitas dari identitas diri yang bersifat wajib dan mutlak dimiliki. Perdebatan ini muncul tidak hanya dalam kajian sosio-teologis semata, melainkan juga merambah jauh kedalam substansi konstitusi. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang notabennya telah mengalami perubahan amandemen sebanyak empat kali nyatanya tidak dapat mengakomodir penjelasan mengenai relevansi antara kedudukan agama dan HAM secara jelas. Hak beragama merupakan salah satu hak asasi yang diatur dalam konstitusi UUD NRI 1945. Pasal 28E (1) menerangkan bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
     Menarik untuk diperdebatkan adalah mengenai hak negara untuk masuk jauh ke ranah pembatasan jumlah agama. Ketentuan dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan merupakan bukti sahih adanya penghilangan hak warga negara untuk memeluk agama diluar yang telah ditentukan oleh undang-undang. Mengingat pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh seorang sahabat kepada saya, Mengapa Yahudi tidak diakui oleh pemerintah, semakin menguatkan rasa penasaran terhadap tolak ukur suatu agama dapat dimasukan dalam undang-undang sebagai salah satu agama yang diakui oleh pemerintah. Yahudi notabennya sama dengan Kristen/Katholik maupun Islam yang sama-sama menjunjung tinggi monoteisme yang lahir sebagai agama. Ketidakjelasan kriteria yang dijadikan acuan oleh pemerintah untuk mengatakan sah atau tidaknya suatu entitas agama merupakan wujud ketidakadilan dalam negara hukum. Memanglah benar apa yang diajarkan oleh J.J Rousseau mengenai doktrin kontrak sosial. Doktrin tersebut menerangkan bahwa telah terjadi kesepakatan rakyat untuk memberikan sebagian haknya untuk diatur oleh pemerintah. Tetapi yang perlu diperhatikan bahwa agama merupakan kebutuhan rohani setiap insan di dunia. Pembatasan mengenai agama dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Terlebih terhadap tindakan negara yang secara tidak langsung mendiskreditkan/mendiskriminasikan keberadaan suatu agama di wilayah hukum atau yurisdiksinya.
    Pembatasan yang dilakukan oleh negara terhadap eksistensi suatu agama di Indonesia bagi pihak yang lain sering diartikan sebagai konsekuensi logis dari Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945 yang menutup kemungkinan seorang warga negara untuk tidak memeluk satupun agama atau melarang keberadaan paham atheisme. Pasal 29 UUD NRI ayatnya yang pertama menerangkan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maksudnya NKRI adalah negara kesatuan yang mendasarkan pada nilai-nilai ketuhanan bersifat universal yang menjunjung tinggi kesucian, pengampunan dan cinta kasih kepada sesama ciptaan Tuhan. Lebih jauh negara memiliki kewajiban untuk menjamin hak kebebasan beragama setiap warga negaranya dapat dialokasikan. Pengalokasian hak tersebutlah yang memang terkadang mengundang sejumlah perdebatan. Namun haruslah bijak diartikan sebagai semata-mata upaya negara melalui pemerintah untuk menjamin kemerdekaan tiap-tiap warga negara nya untuk memeluk agama dan beribadat sesuai agama dan kepercayaannya.
   Hal lain yang menarik untuk dibahas adalah mengenai kedudukan agama dan kepercayaan dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD NRI 1945. Tidak jarang orang mengartikan dua entitas tersebut secara terpisah dan tidak ada keterkaitannya antara satu dengan lainnya. Agama sering diartikan sebagai kepercayaan sebagaimana mestinya yang telah diatur keberadaannya oleh negara. Sedangkan kepercayaan diartikan sebagai segala bentuk keyakinan terhadap sesuatu diluar entitas agama yang telah ditetapkan oleh negara. Pandangan seperti itu secara yuridis-logis adalah pandangan yang salah. Maksud dari pada perumus pasal tersebut adalah bahwa agama-kepercayaan diibaratkan sebagai hubungan antara agama dan iman yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Negara tidak menginginkan adanya pencampuran antara kaidah agama yang suci dengan berbagai bentuk kepercayaan-kepercayaan yang terkadang menyesatkan. Terdapat sisi menarik pada kalimat “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” dalam Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945. Sisi menarik tersebut adalah tidak disandingkannya agama dengan kepercayaan dalam konteks penjaminan negara kepada tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya. Memeluk agama disini dan tidak disandingkannya dengan kata kepercayaan merupakan bukti bahwa negara tidak menginginkan adanya penyelewengan doktrin agama sebagaimana mestinya yang diatur dalam masing-masing kitab suci. Sedangkan penyandingan kata agama dan kepercayaan dalam konteks penjaminan negara terhadap hak para warga negaranya untuk beribadat haruslah dipandang sebagai satu kesatuan entitas. Karena yang dimaksud kepercayaan disini adalah iman yang notabennya melekat menjadi satu dalam bingkai agama dan tidak terpisahkan.
    Dasar negara kita adalah Pancasila yang didalamnya memuat berbagai nilai-nilai luhur kehidupan berbangsa dan bertanah air. Indonesia adalah negara yang khas, persatuan dalam bingkai perbedaan tidaklah menjadi tombak untuk tercerai-berai melainkan merupakan kekuatan utama negara ini. Pembatasan pemerintah terhadap eksistensi atau keberadaan agama yang pada saat ini hanya diakui sejumlah enam agama pada hakekatnya telah melanggar prinsip persatuan dan hak beragama yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Semangat negara untuk melarang keberadaan paham atheisme patut diacungi jempol. Tetapi tidak dalam hal pelarangan adanya kepercayaan atau kemungkinan munculnya agama baru. Pemerintah sebagai penyelenggara negara wajib mengakomodir segala perbedaan yang ada selama hal tersebut tidak bertentangan dengan semangat konstitusi. Karena surga dan neraka adalah kehendak sang Pencipta, Dialah yang berkuasa atas segalanya.

 
 
“Orang tidak akan menanyakan apa agamamu, jikalau engkau berbuat baik kepada semua insan”

© 2014 Faculty Of LAW GAMADA

Make a website for freeWebnode