Paradoks UU Desa Dalam Kaitannya Dengan Kesejahteraan Masyarakat

08/11/2015 20:00

--Tiada rencana yang menghasilkan sesuatu, tetapi sesuatu dihasilkan melalui usaha dan pengorbanan--

 


    Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa diharapkan dapat membawa paradigma baru dalam pembangunan, mampu mengubah cara pandang pembangunan, bahwa kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi tidak selamanya berada di kota atau perkotaan, tetapi dalam membangun Indonesia haruslah dimulai dari Desa. Merupakan suatu cita-cita mulia untuk menjadikan desa sebagai subjek yang lebih pro aktif dalam pembangunan nasional. Ini merupakan wujud reformasi yang sesungguhnya, dimana desa tidak lagi dianggap hanya sebagai obyek pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah pusat baik melalui RPJM nya untuk jangka waktu lima tahun kedepan maupun melalui kekuasaan yang didesentralisasikan kepada pemerintah daerah. Desa menjadi garda terdepan pembangunan yang berasal dari prakarsa masyarakat secara langsung guna mencapai kesejahteraan dan kemakmuran yang berkeadilan dan berkesinambungan.

    Walaupun desa kedepannya harus menjadi subyek yang lebih pro-aktif dalam mewujudkan pembangunan nasional yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945. Didalam melaksanakan pembangunan harus diperhatikan pula penerapan prinsip sustainable development yang bertumpu pada tiga aspek utama yakni ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan. Hal ini merupakan suatu kewajiban bagi pemerintah ketika merancang program pembangunan nasional yang mendasar pada geostrategi dan geopolitik sebagaimana tersirat dalam Pancasila. Tujuannya jelas agar tidak hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan saat ini tetapi juga di masa yang akan datang. Tidak dibenarkan pula dengan pemberian legitimasi kekuasaan kepada masyarakat desa untuk menentukan arah pembangunan wilayahnya membuka kran liberalisasi yang akan merusak tatanan masyarakat itu sendiri. Pembangunan dilakukan semata-mata untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan memperhatikan keseimbangan.

    Paradoks UU Desa terhadap pembangunan tampaknya akan terlihat jelas pada tingkat pelaksanaannya di desa adat. Sebagaimana tertuang dalam ketentuan umum, bahwa yang dimaksud desa adalah desa pada umumnya dan desa adat. Suatu perkumpulan masyarakat hukum adat dapat disebut sebagai desa adat apabila memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dan berlaku kumulatif dalam rumusan pasal 97 ayat (1) UU Desa. Pertama, kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional. Kedua, kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Ketiga, kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ditakutkan dengan memberikan kepercayaan dan kewenangan khusus kepada desa adat akan menjadi suatu distorsi pembangunan serta menimbulkan ketidakpastian hukum yang berlaku atas rezim pembangunan desa itu sendiri. Selain itu dengan adanya penggolongan desa adat tersebut disinyalir akan muncul kecemburuan sosial masyarakat hukum adat yang tidak diberikan kekuasaan kepadanya sebagai desa adat. Akhirnya akan timbul disintegrasi dan penurunan rasa nasionalisme yang berawal dari kecemburuan tersebut. Perlu adanya sikap bijak pemerintah daerah dalam menentukan desa mana yang akan diklasifikasikan sebagai desa adat.

    Selain dari sisi kebijakan pembangunan, paradoks UU Desa juga dapat ditemukan pada sistem pengawasannya. Pengawasan yang dilakukan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dirasa masih sangat kurang dan tidak sesuai dengan nomenklatur pada struktur kementerian yang telah menciptakan satu kementerian sektoral yang baru yakni, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Selayaknya pemerintah daerah yang berada dibawah kedudukan atau urusan kementerian dalam negeri, maka pemerintah desa juga harus diawasi secara melekat oleh pemerintah daerah dan fungsional oleh BPK-P. Rasio pemikirannya adalah sangat jelas sekali karena pemerintah desa kedepannya dimungkinkan akan berevolusi menjadi organ politik. Sehingga perlu adanya pengawasan yang sifatnya preventif untuk mencegah penyelewengan kerja (fraud) yang dilakukan oleh aparat desa. Sehingga tidak menutup kemungkinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki yurisdiksi kerja untuk menindak aparatur desa yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi.

    Sangatlah setuju jikalau desa menjadi garda terdepan pembangunan nasional. Akan tetapi yang harus diperhatikan adalah pencegahan tindak pidana korupsi yang utamanya melibatkan seorang kepala desa. Terkait hal ini dapat dicegah dengan sosialisasi mengenai politik desa yang cerdas. Masyarakat desa harus mengetahui terlebih dahulu UU Desa lebih mendalam dan segala konsekuensi terhadap pembangunan desa. Sehingga kedepannya dalam memilih seorang kepala desa tidak terpengaruh oleh politik uang yang dimainkan oleh para kandidat. Konstelasi politik desa harus disosialisasikan sejak dini, agar pembangunan yang dicita-citakan tidak menuju kearah distorsi. Karena desa adalah “dari, oleh dan untuk Indonesia."

 

© 2014 Faculty Of LAW GAMADA

Make a website for freeWebnode