Mengawal Keberlangsungan Demokrasi Yang Terdesentralisasi

11/09/2015 01:30

                Demokrasi merupakan sebuah kata yang sering dipuja oleh semua elemen masyarakat. Buruh, tani, maupun mahasiswa tak jarang mengucapkan kata tersebut. Bahkan nilai-nilai “demokrasi” tampak pada musyawarah mufakat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sebagai usaha untuk mencari solusi terhadap social dispute yang tak jarang terjadi. Namun, demokrasi yang seharusnya menyelesaikan sebuah permasalahan yang ada terkadang malah sebaliknya. Tidak tahu siapa yang layak untuk diberikan penghargaan atas hal ini. Mereka yang bercaping ataukah berdasi ?

                Masih tersimpan dibenak kita Authoritarian System of Government yang mantan Presiden Soeharto terapkan pada saat itu. Indonesia sebagai negara kesatuan dengan diakuinya juga eksistensi pemerintahan daerah. Hal ini pula yang menjadi modus politik penguasa pada waktu itu untuk mengeruk kekayaan daerah yang ada. Sesuatu yang harusnya dibanggakan dari adanya eksistensi “pemerintahan daerah”, tampaknya a contrario dengan harapan tersebut. Pemerintah daerah yang seharusnya diberikan hak secara otonom untuk mengembangkan dan menciptakan suatu perubahan malah dijadikan alat invasi kekuasaan yang bersifat destruktif.  

                Revolusi tahun 1998 merupakan manis-pahitnya demokrasi di bumi pertiwi. Ratusan nyawa dikorbankan hanya untuk keluar dari zona aristokrasi-oligharki terselubung. Hal ini selaras dengan tulisan Soehino di dalam buku “Ilmu Negara” nya sebagaimana mengutip pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa demokrasi merupakan sebuah bentuk negara terburuk yang pernah ada. Demokrasi ibarat merindukan bulan di siang hari.  

                Selama masa reformasi kurang lebih telah lahir beberapa instrumen hukum yang mengatur keberadaan rezim pemerintahan daerah, hingga yang terakhir mengacu pada UU No. 23 Tahun 2014. Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 menerangkan bahwa kepala daerah (gubernur, bupati dan wali kota) dipilih secara demokratis. Klausul kata demokratis mengundang multi tafsir bagi setiap kalangan yang membacanya. Sejauh ini mekanisme yang sering disebutkan berkaitan dengan klausul kata tersebut yaitu direct or indirect election. Sejarah yang pahit memang masih menjadi alasan mengapa kontroversi muncul ketika DPR dengan mayoritas suara Koalisi Merah Putih mengeluarkan UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD. Gejolak politik nasional pada saat itu sungguh tak dapat dihindari. Hal tersebut mendorong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengeluarkan senjata ampuhnya, yakni Perppu Nomor 1 Tahun 2014 dan Perppu Nomor 2 Tahun 2014.

 

UU No. 8 Tahun 2015

                Undang-undang ini lahir mendasar pada inisiasi Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang dikeluarkan mantan Presiden SBY pada saat itu. Sehingga Pilkada serentak sebagaimana yang diagendakan bertahap hingga tahun 2027 dengan total tujuh gelombang, bergerak dengan mendasar pada instrumen tersebut. Konsekuensi logis dari sistem hukum eropa kontinental dengan positivisme nya yang dianut oleh negara ini yaitu kepastian hukum yang bersumber dari undang-undang. Maka dari itu hal selain yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan bukanlah hukum yang utama, meskipun terdapat doktrin passive jurisprudence dalam pengadilan.

                 Beberapa waktu lalu seperti yang dikabarkan oleh berbagai media, terdapat beberapa daerah pemilihan yang hanya menyisakan seorang calon tunggal. Mulai dari diskusi kajian politik dan hukum hingga debat pun diselenggarakan untuk mencari solusi terkait permasalahan itu. Dispute Resolution yang sering disebutkan yaitu agar dikeluarkannya sebuah Perppu oleh Presiden Joko Widodo atau anti-mainstream nya Judicial Review terhadap UU No. 8 Tahun 2015 tersebut. Pilihan kedua tampaknya menjadi solusi jangka panjang dalam proses penyelenggaraan Pilkada.

                Produk hukum yang memang memiliki urgensi dikeluarkannya saat ini adalah Perppu, tetapi banyak pertimbangan yang harus dipikirkan oleh Presiden Jokowi untuk mengeluarkan buku saktinya. Inilah konstelasi politik lokal yang ada disetiap daerah selain money politik yang sering menjadi noda bagi demokrasi bangsa. Seharusnya rakyat baik sebagai konstituen maupun yang dipilih peka dan menyadari pentingnya peran mereka dalam proses pembangunan serta kemajuan negara. Oleh karena itu pendidikan politik yang berlandaskan pada orientasi religius-komunal harus diajarkan mulai dari sekarang. Sehingga dosa keturunan negara demokrasi yang dilakukan oleh mereka yang berdasi dan duduk sebagai birokrat dapat terputus suatu saat nanti.

© 2014 Faculty Of LAW GAMADA

Make a website for freeWebnode