Konstelasi Kemerdekaan Di Era Masyarakat Global

11/09/2015 01:25

    “Merdeka atau mati,” istilah tersebut nampaknya tidak asing lagi untuk didengar. Merdeka yang dahulu diperjuangkan untuk bebas dari belenggu para penjajah, kini telah menjadi suatu hal yang tabu untuk dibicarakan. Merdeka yang berarti berdiri sendiri atau lepas dari keterikatan dengan pihak lain secara paradoks terlihat dalam realita kehidupan berbangsa dan bernegara pada saat ini. Tingginya tingkat kemiskinan masihlah menjadi masalah utama yang tak bersolusi. Memang dalam hal ini tidak ada satupun pihak dapat disalahkan sepenuhnya terhadap permasalahan ini.

    Namun yang perlu menjadi sorotan bersama adalah pembangunan yang dilakukan pemerintah, kenyataannya memang masih terfokus pada central macro economy.  Penguatan perekonomian daerah dalam rangka merealisasikan desentralisasi ekonomi hanya sekedar wacana belaka. Salah satu penyebabnya yaitu lemahnya kesadaran para pemangku jabatan baik di pusat maupun daerah mengenai tanggungjawabnya secara pribadi kepada rakyat. Mereka selaku pembuat kebijakan terkesan lebih mementingkan kepentingan segelintir kelompok tertentu yang memiliki keterkaitannya dengan diri mereka sendiri. Sehingga bukan merupakan rahasia umum lagi kalau korupsi sudah menjadi budaya dalam birokrasi di Indonesia.

    Banyak motif dan tipologi yang menggambarkan relasi antara konstelasi bisnis dan politik yang melahirkan kebijakan dengan bumbu korupsi. Salah satunya adalah model transkatif, dimana kekuasaan bisnis maupun politik tersebar dalam kekuatan yang seimbang. Kekuatan bisnis lemah karena terfragmentasi dan bersaing satu dengan yang lainnya. Begitupula dengan kekuatan politik berada dalam keadaan terfragmentasi kepada berbagai kantong kekuasaan. Dalam konteks tersebut, kekuatan bisnis tidak cukup kuat mendikte dan mempengaruhi kekuasaan atau kebijakan, sehingga terjadi tawar-menawar untuk memperoleh alokasi sumber daya, kontrak, lisensi dan proyek dalam pemerintahan. Sehingga dalam hal tawar-menawar tersebut akan dimenangkan oleh kekuatan bisnis yang memberikan penawaran tertinggi. Memang dalam hal lahirnya suatu kebijakan pembangunan, hal tersebut lazim ditemukan. Tetapi dalam praktiknya sering terjadi tindak pidana korupsi dengan menggunakan tipologi atau model tersebut. Lagi-lagi rakyat yang harus merugi. Selain kemiskinan dan tingginya intensitas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para pemangku kekuasaan. Rendahnya kualitas pendidikan dan tingginya tendensi konflik dalam bingkai perbedaan menjadi salah satu faktor, kenapa kemerdekaan dirasakan selayaknya tidak merdeka.

    Sungguh miris ketika semarak deklarasi masyarakat global dikumandangkan, negara ini masih bergulat dengan permasalahan klasik yang tiada jalan keluarnya tersebut. Sungguh diperlukan sinergitas antar birokrasi dan lembaga pemerintahan yang akan melahirkan kebijakan yang bermanfaat dan dapat direalisasikan demi sebuah harapan yang pasti. Merdeka dalam hal pangan, sosial, politik, hukum, pendidikan, dan kebudayaan. Untuk mewujudkan hal tersebut tentunya perlu ada kesadaran setiap warga negara sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan antara satu dengan yang lain.

    Paham komunal memang masih diperlukan di Indonesia, tentunya didasarkan pada welfare oriented in global village as the main purpose. Karena sejatinya kehidupan merupakan suatu proses sosial yang berantai dan memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu sebagai negara kesatuan, prinsip kesatuan dalam bingkai perbedaan haruslah dikedepankan. Agar perbedaan tidaklah menjadi pil pahit dalam konstelasi kemerdekaan di era masyarakat global saat ini. Sebab Indonesia bukanlah Israel dengan zionisnya, Palestina dengan hamasnya, ataupun Amerika yang penuh dengan konspirasi dan monopolinya. Indonesia adalah negara dengan Pancasila sebagai perekat perbedaan. Pancasila dengan nilai-nilai luhur kebangsaannya seharusnya tertanam didalam benak setiap warga negara. Sehingga ciri khas bangsa Indonesia yang ber-ketuhanan, ber-kemanusiaan, ber-kesatuan, ber-musyarawatan dan ber-keadilan tidak terombang-ambingkan oleh arus pergaulan dunia yang keras. Indonesia harus dan sebenarnya mampu menjadi positive role model bagi semua negara di dunia.   

            Dalam bidang hukum, kemerdekaan haruslah diartikan sebagai sebuah kedudukan dimana kebebasan manusia dijamin dengan adanya suatu batasan tertentu dengan mempertimbangkan kedudukan dan kebebasan orang lain. Hal ini secara jelas dan rinci tertuang dalam UUD NRI 1945 yakni, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Oleh karena itu hukum dengan tiga pilar utamanya (kepastian, keadilan, dan kemanfaatan) haruslah ditegakkan sedemikian rupa agar tidak ada lagi adagium yang menyatakan bahwa hukum tumpul keatas dan tajam kebawah. Hukum haruslah berada ditengah-tengah kehidupan masyarakat dan menjadi dasar serta aturan mengenai tingkah laku masyarakat itu sendiri. Sehingga keadilan dan kemanfaatan dapatlah dirasakan sepenuhnya demi kemajuan serta kesejahteraan bangsa ini di masa yang akan datang.

 

© 2014 Faculty Of LAW GAMADA

Make a website for freeWebnode