Hak Menguasai Negara Yang Dikuasai Asing (Suatu Tetesan Air Mata Ibu Pertiwi)

27/01/2016 00:00

   Indonesia sebagai negara hukum yang menganut konsep welfare state, di dalam konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatakan bahwa bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang ada dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan semata-mata demi kesejahteraan rakyat. Konsekuensinya adalah kebijakan yang diambil oleh pemerintah haruslah sesuai dengan kedaulatan rakyat yang telah diberikan kepadanya dalam bingkai negara demokrasi. Meskipun sulit, namun pemerintah tetap berusaha untuk mewujudkan negara yang sejahtera setelah lepas dari belenggu penjajahan. Kebijakan yang merupakan kewajiban yang dibebankan berupa pembangunan smelter kepada perusahaan pemegang Ijin Usaha Pertambangan (IUP) sebagaimana tertuang dalam UU No. 4 Tahun 2009 menunjukan keseriusan pemerintah untuk mengimplementasikan konsep penguasaan negara seperti yang tertuang di dalam konstitusi.
    Konsep hak penguasaan negara sangat tidak terlepas dengan sistem ekonomi yang dianggap terbaik bagi Indonesia. Mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan Perkara UU Migas, UU Ketenagalistrikan, dan UU Sumber Daya Air (UU SDA) menafsirkan mengenai “hak menguasai negara (HMN)” bukan dalam makna negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara hanya merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoundendaad). Terkait sistem ekonomi, Hakim Palguna dalam sidang pengujian UU Kelistrikan pernah mengemukakan pendapatnya bahwa Sistem Ekonomi Pasar Terkelola dengan kecenderungan natural monopoly yang dilakukan oleh negara sangat cocok untuk diterapkan di Indonesia. Hal ini mendasar pada adanya suatu kepentingan ekonomi yang tidak boleh diserahkan pada pasar dengan begitu bebasnya. Pasar bukanlah mekanisme yang sempurna karena ada kemungkinan untuk terjadinya distorsi pasar yang akan mengganggu stabilitas nasional. Maka dari itu negara harus ikut campur dalam perekonomian.
    Namun realitanya sangat terbalik dan mungkin mustahil bagi pemerintah untuk menerapkan konsep hak penguasaan negara sebagaimana telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi selaku The Guardian Of Constitution. Sulitnya perusahaan pertambangan pemegang IUP untuk memenuhi kewajibannya untuk membangun smelter di wilayah dimana IUP diberikan merupakan bukti konkret bahwa liberalisasi telah mencapai taraf akut. Selain itu dinamika dalam divestasi saham Freeport yang sempat mengalami politisasi terkait pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Mantan Ketua DPR Setya Novanto semakin memperburuk citra pemerintahan di mata rakyat. Kedaulatan yang telah diberikan kepada mereka tampaknya hanya dimanfaatkan sebagai media politik belaka guna meraup kekuasaan. Harus ada keseriusan pemerintah untuk mewujudkan salah satu tujuan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.    
    Sementara itu terkait PT. Freeport Indonesia sendiri, wacana divestasi saham dirasakan susah untuk dilaksanakan mengingat dalam Kontrak Karya generasi II Tahun 1991, PT. Freeport Indonesia tidak memasukkan klausul kewajiban divestasi saham perusahaan kepada Pemerintah Indonesia. Hal ini menjadi catatan penting bagi Pemerintah karena UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah mewajibkan badan usaha asing pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang melakukan kegiatan produksinya selama lima tahun untuk melakukan divestasi saham. Menurut Pasal 1 angka 8 PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, divestasi saham adalah jumlah saham asing yang harus ditawarkan untuk dijual kepada peserta Indonesia. Pemerintah hanya mendapatkan 9,36% sementara 90,6% menjadi milik Freeport. Dengan ketimpangan porsi kepemilikan saham tersebut, Pemerintah Indonesia tidak dapat melakukan fungsi pengawasan internal secara maksimal.
    Divestasi saham merupakan salah satu instrumen hukum dalam melakukan pengalihan saham dari penanaman modal asing atau investor asing kepada Pemerintah Indonesia, atau warga negara Indonesia, atau badan hukum Indonesia. Divestasi tidak hanya dapat dilakukan oleh badan hukum privat seperti perseroan terbatas, firma, CV, tetapi dapat juga dilakukan oleh badan hukum publik seperti negara, provinsi, kabupaten atau kota. Dalam melakukan transaksi yang bersifat privat, badan hukum publik diwakili oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Mendasar pada pemahaman tersebut, maka kewajiban divestasi saham sebesar 30 % harus dilakukan demi mendukung percepatan pembangunan serta mewujudkan konsep hak penguasaan negara semata-mata demi kesejahteraan rakyat.  Agar ibu pertiwi tidak lagi menangis karena tanah dan kekayaan alam di dalamnya dikuasai oleh asing.

© 2014 Faculty Of LAW GAMADA

Make a website for freeWebnode